MALANG, Channel11.COMM – Bulan Ramadhan yang
hanya datang satu tahun sekal mempunyai nuansa yang khas. Berkumpul bersama
keluarga menjadi salah satu tradisi bulan Ramadhan yang mencolok. Rasanya
berbeda ketika kita harus menjalani puasa di tanah perantauan dibandingkan di kampung
halaman sendiri. Sebagai mahasiswa, puasa di perantauan akan terasa lebih
menantang dan godaannya akan lebih besar dan banyak. Jauh dari keluarga, harus
dapat hidup mandiri, bahkan terkadang merasa kesepian dan rindu pada kampung
halaman.
Hal ini dialami oleh Muhammad Dio Prananda, Communite 2018 yang berasal
dari Balikpapan, Kalimantan Timur. Dio, begitu ia akrab disapa, memilih untuk
menimba ilmu di tanah rantau. “Rasanya puasa pertama di perantauan yang jauh
dari keluarga tentu susah banget dan sangat nggak bisa beradaptasi dengan
suasana,” pungkasnya. Dio yang memilih untuk berkuliah jauh dari rumah ini
merasa puasa pertama jauh dari rumah jauh berbeda dengan yang biasa ia alami di
kampung halamannya.
Sama halnya dengan Wiwit Juwita, Communite 2018 yang berasal dari
Bontang, Kalimantan Timur. “Sedih rasanya karena bener-bener beda. Karena kalau
di perantauan harus cari makan sendiri, sedangkan kalau di rumah sudah
disediakan dan bisa bareng dengan keluarga,” ucapnya.
Walaupun harus merasakan puasa di perantauan, Dio berpendapat bahwa
terdapat suka duka yang ia rasakan. “Sukanya karena bisa sahur dan buka bareng
temen-temen. Dukanya, ya, suka kangen suasana rumah kalau lagi sahur dan buka
puasa,” ucap pria asal Balikpapan itu. Wanita yang akrab disapa Wiwit ini juga
memiliki suka dan dukanya sendiri, terlihat berbeda pikiran dengan Dio yang
sama-sama perantau sepertinya.
“Sukanya sebenarnya banyak, karena aku selalu buka puasa gratisan. Kalau
dukanya, susah di sahurnya, tergadang mager
nyari, kalau di rumah kan ada yang masak. Dan sempat ada masalah saat
berlangganan catering,” ucap wanita
kelahiran Bontang itu.
Namun, hal yang selalu terbesit di otak para perantau apabila menghadapi
bulan Ramadhan adalah makanan untuk sahur dan berbuka puasa. Wiwit mengatakan
awalnya ia pernah berlangganan catering
selama tiga hari awal puasa. “Awalnya aku catering,
tapi karena satu dua hal berhenti dan memilih untuk beli makanan di dekat kosan
maupun Gofood,” tukas Wiwit kepada wartawan Channel11.COMM.
Dio pun sependapat dengan Wiwit, yang lebih memilih untuk tidak
berlangganan catering, melainkan
untuk membeli makanan secara langsung. “Aku lebih prefer beli dan makan disana langsung, karena kalau Gofood takut kelewat
imsak maupun buka,” ucapnya.
Agar dapat melewati puasa pertama di perantauan ini, Dio memiliki
beberapa tips yang ia sampaikan kepada wartawan Channel11.COMM. “Kalau tips dari aku, sih, sering-sering komunikasi
dengan teman – teman yang lain biar gak kesiangan sahur, banyakin minum air putih,
dan jangan lupa menjaga sholat tentunya,” tuturnya.
Berbeda dengan Dio, Wiwit berpendapat mengenai cara hemat untuk
menjalani bulan Ramadhan sebagai perantau. “Tips dari aku, sih, cari masjid
yang menyediakan buka puasa gratis. Kita bisa lebih hemat dan duitnya bisa kita
pakau untuk sahur. Hitung-hitung buka puasa sambil sholat berjamaah di masjid.
Dapat pahala dan hemat uang kita,” tutup Wiwit. [nad]
Penulis:
Nada Salsabila
Penyunting:
Athaya Nadjla Azzariaputrie
0 Comments:
Post a Comment