Home Tentang Kami Berita Feature Komtribusi Komspiratif E-Bulletin Advo Info Instagram Our Videos
image1 image2 image3

SELAMAT DATANG DI CHANNEL11.COMM|LAMAN RESMI HIMANIKA UNIVERSITAS BRAWIJAYA|KABINET KOLABORASI

Puasa di Mata Perantau




Kota Malang (sumber: Google)
MALANG, Channel11.COMM – Bulan Ramadhan yang hanya datang satu tahun sekal mempunyai nuansa yang khas. Berkumpul bersama keluarga menjadi salah satu tradisi bulan Ramadhan yang mencolok. Rasanya berbeda ketika kita harus menjalani puasa di tanah perantauan dibandingkan di kampung halaman sendiri. Sebagai mahasiswa, puasa di perantauan akan terasa lebih menantang dan godaannya akan lebih besar dan banyak. Jauh dari keluarga, harus dapat hidup mandiri, bahkan terkadang merasa kesepian dan rindu pada kampung halaman.

Hal ini dialami oleh Muhammad Dio Prananda, Communite 2018 yang berasal dari Balikpapan, Kalimantan Timur. Dio, begitu ia akrab disapa, memilih untuk menimba ilmu di tanah rantau. “Rasanya puasa pertama di perantauan yang jauh dari keluarga tentu susah banget dan sangat nggak bisa beradaptasi dengan suasana,” pungkasnya. Dio yang memilih untuk berkuliah jauh dari rumah ini merasa puasa pertama jauh dari rumah jauh berbeda dengan yang biasa ia alami di kampung halamannya.

Sama halnya dengan Wiwit Juwita, Communite 2018 yang berasal dari Bontang, Kalimantan Timur. “Sedih rasanya karena bener-bener beda. Karena kalau di perantauan harus cari makan sendiri, sedangkan kalau di rumah sudah disediakan dan bisa bareng dengan keluarga,” ucapnya.

Walaupun harus merasakan puasa di perantauan, Dio berpendapat bahwa terdapat suka duka yang ia rasakan. “Sukanya karena bisa sahur dan buka bareng temen-temen. Dukanya, ya, suka kangen suasana rumah kalau lagi sahur dan buka puasa,” ucap pria asal Balikpapan itu. Wanita yang akrab disapa Wiwit ini juga memiliki suka dan dukanya sendiri, terlihat berbeda pikiran dengan Dio yang sama-sama perantau sepertinya.

“Sukanya sebenarnya banyak, karena aku selalu buka puasa gratisan. Kalau dukanya, susah di sahurnya, tergadang mager nyari, kalau di rumah kan ada yang masak. Dan sempat ada masalah saat berlangganan catering,” ucap wanita kelahiran Bontang itu.

Namun, hal yang selalu terbesit di otak para perantau apabila menghadapi bulan Ramadhan adalah makanan untuk sahur dan berbuka puasa. Wiwit mengatakan awalnya ia pernah berlangganan catering selama tiga hari awal puasa. “Awalnya aku catering, tapi karena satu dua hal berhenti dan memilih untuk beli makanan di dekat kosan maupun Gofood,” tukas Wiwit kepada wartawan Channel11.COMM.

Dio pun sependapat dengan Wiwit, yang lebih memilih untuk tidak berlangganan catering, melainkan untuk membeli makanan secara langsung. “Aku lebih prefer beli dan makan disana langsung, karena kalau Gofood takut kelewat imsak maupun buka,” ucapnya.

Agar dapat melewati puasa pertama di perantauan ini, Dio memiliki beberapa tips yang ia sampaikan kepada wartawan Channel11.COMM. “Kalau tips dari aku, sih, sering-sering komunikasi dengan teman – teman yang lain biar gak kesiangan sahur, banyakin minum air putih, dan jangan lupa menjaga sholat tentunya,” tuturnya.

Berbeda dengan Dio, Wiwit berpendapat mengenai cara hemat untuk menjalani bulan Ramadhan sebagai perantau. “Tips dari aku, sih, cari masjid yang menyediakan buka puasa gratis. Kita bisa lebih hemat dan duitnya bisa kita pakau untuk sahur. Hitung-hitung buka puasa sambil sholat berjamaah di masjid. Dapat pahala dan hemat uang kita,” tutup Wiwit. [nad]

Penulis:
Nada Salsabila

Penyunting:
Athaya Nadjla Azzariaputrie


Share this:

CONVERSATION

0 Comments:

Post a Comment