Pemerintah melakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Revisi ini justru perlu semakin ditanyakan untuk memperjelas poin
dan ayat yang telah diubah. Beberapa perubahan yang ditetapkan jika dipahami
layak untuk dipertimbangkan, antara lain:
1. Regulator
penyiaran. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2002 lembaga yang mengatur hal-hal
mengenai penyiaran ialah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pada pasal 8 ayat
(2), tugas KPI antara lain menetapkan
standar program siaran; menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku
penyiaran; mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta
standar program siaran; memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan
pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; dan melakukan
koordinasi dan/atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
Namun, adanya RUU tahun 2017 justru
melemahkan KPI sebagai lembaga independen. Ruang gerak KPI hanya dibatasi untuk
mengatur isi siaran saja sedangkan sistem penyiaran berada di tangan
pemerintah. Sebagai lembaga independen, harusnya KPI berada di puncak teratas
penyiaran. Secara sederhana, dampak melemahnya KPI dapat dilihat adanya kontrol
atau campur tangan pemerintah dan DPR dalam mengatur frekuensi publik.
2. Digitalisasi
penyiaran. Pada dasarnya, perubahan ini akan menjadi dampak positif karena
masyarakat dapat menikmati siaran dengan kualitas yang lebih baik dari segi
gambar dan jaringan. Meskipun pada pasal 16 ayat (1) dijelaskan bahwa
pemerintah memberikan jaminan ketersediaan frekuensi bagi penyelenggara jasa
penyiaran televisi, masih ada tanda tanya besar akan nasib
lembaga penyiaran publik seperti TVRI. Adanya digitalisasi tentunya akan
semakin membuka lebar peluang bisnis bagi pemilik media untuk meraup keuntungan
yang lebih besar dan tidak memungkinkan jika akan bermunculan televisi-televisi
baru yang tidak akan
menyulitkan mereka untuk membangun dari nol. Sedangkan TVRI sebagai LPP yang berada di tangan pemerintah
akan kesulitan dari segi finansial karena perubahan digital teresterial sepenuhnya
biaya lembaga penyiaran. Kesempatan
TVRI untuk menjadi penyiaran digital
akan tertutup karena kanal frekuensinya sudah habis.
3. Pembentukan
Lembaga Penyiaran Khusus (LPK), yaitu lembaga penyiaran yang didirikan dan dimiliki oleh lembaga Negara,
kementrian/lembaga, partai politik, atau pemerintah daerah yang kegiatannya
menyelenggarakan penyiaran radio dan/atau penyiaran televisi. Definisi tersebut
bertolak belakang dengan pasal 105 ayat (5) apabila dipahami lebih dalam.
Sebagai lembaga penyiaran yang didirikan dan dibiayai oleh partai politik,
misalnya, tidak memungkinkan jika isi siaran akan mencakup mengenai kegiatan
partai politik tersebut sehingga lembaga penyiaran digunakan sebagai alat propaganda politik, terlebih apabila
LPK ini diberikan izin untuk bekerjasama dengan LPB.
Artinya, isi siaran antara LPP, LPS, atau LPB tidak akan jauh berbeda.
4. Tidak
dibatasinya Sistem Siaran Jaringan (SSJ) bagi LPS. Perubahan peraturan ini
membuka ruang gerak yang lebih luas bagi LPS. Sekarang ini, LPS yang memiliki
SSJ saja sudah cukup menjamur walau
sudah dibatasi, apalagi jika tidak
diberi batasan. LPS, jika
ingin menambah siaran local,
harus melalui SSJ terlebih dahulu. Artinya, dengan adanya penetapan tersebut, televisi jaringan lokal yang
independen akan semakin kalah saing.
Sikap Kita Sebagai Mahasiswa Ilmu
Komunikasi
Sebagai mahasiswa, baiknya
kita bersikap kritis terhadap revisi undang-undang ini. Implementasinya bisa
berupa diskusi aktif bersama mahasiswa, dosen, dan komunitas pers baik di dalam
maupun diluar kampus. Diskusi ini bertujuan agar lebih membuka wawasan
mahasiswa sendiri. Dengan mengkritisi topik kebijakan ini, khususnya bersama
komunitas pers, kita berharap apa yang kita kritisi bisa tersampaikan kepada pemerintah.
Sikap kita sebagai
mahasiswa juga tidak sebatas mengadakan diskusi namun bisa juga engan menulis.
Mahasiswa Ilmu Komunikasi pasti sudah diajarkan untuk bisa menulis berita
dengan baik. Hal ini bisa dimanfaatkan. Kita bisa mengirim tulisan kita yang
tentunya bersifat mengkritisi kebijakan ini ke media online. Ini bisa dijadikan salah satu garda terdepan jika suara
kita sebagai mahasiswa didengar oleh khalayak. Dengan ini juga, kita bisa
sekaligus meliterasi masyarakat awam yang belum mengerti akan kerugian apa yang
akan terjadi jika revisi undang undang tersebut jadi disahkan. [pid]
0 Comments:
Post a Comment