Sumber: tirto.id |
Serangkaian aksi yang dilakukan mahasiswa diberbagai kota di Indonesia tidak hanya mendatangkan duka bagi mahasiswa, namun juga pada jurnalisme di Indonesia. Kekerasan yang dialami jurnalis Narasi.tv menjadi sebuah gambaran bagaimana aparatur negara dan undang-undang menjamin kebebasan pers secara semu.
Kronologi Kejadian
Jurnalis yang melakukan peliputan
kekerasan yang dilakukan aparat mendapat berbagai macam tindakan represif. Hal
itu dialami oleh Harfin Naqsyanbandi, jurnalis Narasi.tv, ketika sedang merekam pengeroyokan yang dilakukan oleh
kepolisian terhadap seorang massa aksi. Harfin juga diminta untuk memformat
ulang telepon selulernya,
namun Harfin menolak dan hanya menghapus dua video yang memuat adegan
pengeroyokan.
Seorang jurnalis Narasi.tv lainnya juga mengalami
kekerasan yakni, Vany Fitria,
mencoba
mengambil gambar di daerah Resto Pulau Dua, Jakarta Pusat. Vany yang mencoba
mengambil gambar langsung dihampiri dan diperingati oleh seorang brimob. Tak
lama setelah itu,
Vany kembali
dihampiri oleh beberapa
anggota brimob yang langsung membanting dan merampas telepon selulernya.
Padahal Vany telah mencoba menunjukkan kartu identitas persnya dan juga
menghapus footage yang ia dapat, namun hal itu tidak direspon oleh
brimob yang menghampirinya.
Pandangan
Akademisi
Menurut Dosen Jurusan Ilmu
Komunikasi, Arif Budi Prasetya, tindakan yang dilakukan
aparat adalah bentuk kesewenang-wenangan
karena
kegiatan jurnalistik itu dilindungi oleh hukum dan ada undang-undang yang mengaturnya.
Dia juga berharap
para aparat untuk tetap berpikir jernih di tengah kekacauan walau dia juga
tidak menampikkan upaya represif yang dilakukan aparat jika itu sesuai prosedur
tetap. “Okelah misalkan kepada peserta aksi demo, itu pun kalau mereka sudah
anarkis, namun yang jadi permasalahan adalah ketika ada pers yang menjadi
korban,” ujarnya.
Communite
2017 yang juga merupakan anggota LPM Perspektif, Muhammad Luqman Fadillah, mengatakan hal yang naif sekali
ketika aparat melakukan kekerasan pada pers. Padahal, sudah ada prosedur yang
mengatur cara kerja jurnalis. “Lebih spesifiknya di dalam Pasal 18 Ayat 1
disebutkan bahwa
setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang
berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana
penjara paling lama dua
tahun atau denda sebanyak Rp500 juta,“
ujarnya.
Tanggapan Pihak
Kepolisian
Dilansir dari Detik News, menanggapi
hal itu pihak kepolisian yang disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat
Dedi Prasetyo,
mengatakan jurnalis harus cermat dalam memilih posisi yang aman. “Teman media
yang meliput harus cermat, di mana tempat yang aman. Aman dari massa dan
aparat. Kejadian selama ini terjadi saya lihat rekan media di depan gabung
massa,”
ujarnya.
Untuk
kedepannya dia juga sudah menyampaikan
kepada Dewan Pers dan Pimpinan Redaksi agar jurnalis dilengkapi oleh rompi
ketika meliput kerusuhan atau diprediksi
akan terjadi kerusuhan.
Arif
Budi Prasetya menilai tindakan
yang dilakukan jurnalis di lapangan
sudah sesuai prosedur, ketika terjadi kekacauan seharusnya sudah cukup dengan pengucapan dan
menunjukkan identitas pers. Tindakan represif yang dilakukan aparat juga
seharusnya berhenti ketika seorang jurnalis memperkenalkan identitasnya. “Se-chaos apapun seharusnya ketika
terjadi pemukulan dan pihak wartawan mengatakan bahwa dia dari pers, seharusnya
pemukulan dihentikan dulu, lalu minta tanda pengenal, namun ketika sudah
ditunjukkan tetap terjadi pemukulan, berarti memang ada pelanggaran disana.”
Arif
mengatakan kartu identitas yang kecil juga bukan sebuah alasan atau argumen
untuk mengatakan tindakan yang dilakukan aparat merupakan ketidaksengajaan. Kurang masuk akal karena tindakan yang dilakukan
adalah pemukulan dan masih ada kemungkinan komunikasi disana.
Penulis:
Nada Salsabila
Theodorus Admadireja
Lenia Ajeng Titiasa
Penyunting:
Adrian David Leonardo
0 Comments:
Post a Comment