FISIP masih marak dengan para pencari dana usaha (danus). Biasanya yang
dijadikan danus adalah makanan
yang seringkali tidak tahan lama, sehingga harus terjual hari itu juga. Apabila
tidak laku, bukannya keuntungan yang didapat, melainkan malah kerugian, karena penjual pada akhirnya membeli dagangannya
sendiri.
Menurut Garnis, hal itu merupakan strategi agar dagangan segera habis. “Kalo gak laku, ya itu resiko. Jadi dibeli sendiri, ditalangin pakai uang pribadi,” ujar Elisabeth Garnistia, mahasiswi Ilmu Komunikasi 2016
Pada
kenyataannya berjualan untuk danus ini merupakan keterpaksaan dikarenakan dana
yang diberikan dari pihak fakultas untuk berbagai program kerja dirasa masih
belum cukup.
“Awalnya
ngerasa malas dan sulit, tetapi ini kan demi kepentingan bersama. Mau nggak mau ya harus dijalanin,” kata
Cita, mahasiswi Ilmu Komunikasi lain, yang ditemui saat sedang menjajakan dagangannya di FISIP.
Hal itu yang melatarbelakangi oknum
penjual makanan sedikit
melakukan pemaksaan. Hal ini sempat dialami oleh Awang, mahasiswa Ilmu
Komunikasi 2016. “Mereka (penjual makanan), kesannya suka memaksa buat beli.
Saya merasa iba dan akhirnya membelinya meskipun sedikit terpaksa,” tukas
Awang.
Meskipun
demikian, ada pula mahasiswa yang menanggapi secara positif, karena keberadaan
para penjual makanan tersebut dapat memudahkan mahasiswa yang tengah kelaparan
agar tidak perlu repot pergi ke kantin.
“Saya merasa
sangat diuntungkan, karena dengan adanya teman-teman yang berjualan, maka bila
lapar tidak usah jauh-jauh, capek-capek, turun ke kantin,” ungkap Tasya,
mahasiswa Ilmu Komunikasi 2016.
Melihat fenomena demikian, harapannya pihak dekanat fakultas memberi jalan tengah agar danus tidak menjadi sumber pendanaan utama beroperasinya program kerja suatu LKM. (rey/lia)
0 Comments:
Post a Comment