Milenial sebagai presiden bayangan |
MALANG, Channel11.COMM ―
Tak berlebihan rasanya jika generasi milenial direpresentasikan sebagai
presiden bayangan Indonesia. Generasi milenial diprediksikan mencapai 40% dari
total daftar pemilih tetap (DPT) menurut Komisioner
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono Ubaid Tanthowi . Dengan angka
tersebut, rasanya bukan suatu hal yang mustahil bagi pemuda untuk menentukan
arah gerak negri ini. Maka dari itu, pemaknaan presiden bayangan dapat
diartikan sebagai perpanjangan tangan dari perubahan negri ini.
Pemilih Muda Bersuara
Pembelajaran
mahasiswa di kelas tentang segala bentuk materi politik akan terealisasi dengan
nyata apabila mahasiswa ikut serta dan aktif dalam penyelenggaraan pemilihan
presiden (Pilpres). Menjadi nilai mutlak bagi seorang mahasiswa untuk
menentukan pasangan calon yang akan dipilihnya. Masing-masing mereka menjadi
bagian perubahan negri ini.
“Pemuda
itu kan harapan suatu bangsa. Dengan angka DPT seperti itu, tulang punggung
negara berada ditangan kita. Saya pikir itu merupakan suatu pembelajaran
politik agar kita juga bisa aktif dan peka terhadap politik di Indonesia. Kita
juga bisa terjun langsung ke dunia politik dengan menyalurkan langsung hak
pilih kita,” tutur Yufirly Raizza Fadilah, Commuite 2016.
Dia juga menilai bahwa dengan banyaknya
jumlah pemuda dalam DPT bisa menjadi hal baik dan buruk sekaligus. Bisa menjadi
hal baik ketika kita memilih dan mengetahui benar siapa yang kita pilih dan
berlaku sebaliknya jika kita tidak mengetahui benar siapa yang kita pilih.
Sikap Politik BEM FISIP
Melihat
situasi politik negri ini, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP menyikapi dengan
mengadakan program “Ngibul”, singkatan dari Ngiringin dan Ngobrolin Pemilu.
Program ini diadakan untuk mengedukasi pemilih muda dan pemula untuk dapat
berpikir kritis secara substansi bukan hanya berdasar pada isu tertentu.
Saat disinggung kenetralan program tersebut, Rara Ayunita,
Communite 2016 yang juga merupakan Menteri Kajian Aksi dan Strategi BEM FISIP, menegaskan
bahwa program tersebut bertujuan murni untuk mengedukasi.
“Oh, nggak dong. Karena menurut aku, Kemenresdikti
tadi bilang kampus harus bersih dari kampanye. Menurut aku, program ini bukan
kampanye, tapi pencerdasan kita menyungguhkan substansi dari masing-masing
calon gitu. Kalau kampanye, kita berarti ada hashtag khusus,” tuturnya.
Dimas Putra Wijaya, Wakil Presiden BEM FISIP, memberi
padangan bahwa kita sebagai kaum intelektual, walau pada akhirnya harus
terkotak-kotakan pada beberapa pilihan, tetapi jangan sampai kerasionalan kita
saat memilih luput dari perhatian. Dengan hilangnya kerasionalan kita dalam
memilih, rasanya kecerdasan berpolitik ini menjadi nihil.
Perguruan Tinggi Hanya untuk
Edukasi
Sebagai
bagian dari Aparatur Sipil Negara (ASN) dan juga tenaga pendidik dosen yang memiliki
batasan untuk bersikap di dalam kelas, Abdul Wahid, selaku dosen Ilmu Komunikasi
UB, bercerita kepada Channel11.COMM
mengenai pembahasan ini. Ia bercerita bahwa dalam memberikan edukasi, tidak
sama dengan mengarahkan mahasiswa untuk memilih sesuai pilihannya. Ia selalu
bersikap terbuka dalam setiap pembahasan seputar pemilu dengan cara selalu menghadirkan data dalam setiap materi
yang diajar. Ia mengatakan bahwa dunia akademis adalah dunia bebas berpikir. Maka
dari itu, seharusnya mahasiswa bisa lebih terbuka dalam memandang Pilpres 2019 ini.
Saat
disinggung upaya memasukkan unsur
kampanye ke dalam kampus, ia tidak membenarkan segala bentuk upaya tersebut
dari pihak manapun. “Seharusnya yang ditampilkan cukup kepada data saja karena
kita perlu datanya. Aneh rasanya jika kita menanyakan sesuatu namun tidak
disertai data dan itu tidak masalah. Namun, tidak perlu menyebut nama atau
memunculkan gambar salah satu pasangan calon. Sebenarnya cukup menggunakan White Brand saja, yaitu kondisi di mana
suatu informasi yang dimunculkan tanpa nama atau indentitas, namun kita tahu
informasi itu merujuk kepada siapa,” tutupnya.
Ia
juga mengimbau kepada mahasiswa untuk bersikap lebih terbuka dan kompleks dalam
menerima informasi terkait Pilpres 2019 ini. Biar bagaimanapun, hajatan
demokrasi ini tidak terlepas dari adanya upaya untuk mengarahkan kita untuk memilih salah
satu calon. Jangan mudah terbuai oleh informasi yang beredar tanpa adanya usaha
untuk mengklarifikasi informasi tersebut. Penggambaran seseorang terkoneksi
dengan gambaran yang digambarkan secara sengaja melalui media massa.
Pemuda dan Pemula di Mata
KPU
Merespon banyaknya persentase pemilih muda dan pemula
pada Pilpres 2019, Drs. Edy Wuryanto, Kepala Subbagian Teknis Pemilu dan Hubungan
Masyarakat KPU Kota Malang, secara kelembagaan menganggap hal ini sangat
positif karena mereka ini lah yang diharapkan menjadi motor penggerak pesta
demokrasi yang sebentar lagi diadakan, bukan sebagai motor penggerak golongan
putih (golput).
Upaya KPU menarik minat milenial tecermin pada
penggunaan berbagai macam platform. “Kita insya Allah sudah memiliki semua platform.
Kita punya Instagram, kita punya Facebook, kita punya Twitter, kita punya Garuda
TV dengan YouTube-nya. Kemudian kita punya website
dan konten-konten itu kita buat dengan gaya milenial, anak muda sekarang.
Supaya mereka menjadi nyaman bacanya. Menjadi enak untuk melihat aktivitas kita
itu yang kita pergunakan selama ini,” pungkasnya.
Ia mengharapkan partisipasi pemuda dalam Pilpres 2019
ini bukan hanya dalam bentuk kedatangan di tempat pemungutan suara (TPS) dan
terdaftar di DPT, tetapi juga memilih dengan proses yang benar dari penerimaan sampai
pengolahan informasi tersebut. KPU Malang menargetkan tingkat partisipasi pada Pilpres
2019 ini adalah 80%, lima persen lebih tinggi dibandingkan tingkat partisipasi
pada Pilkada 2018. [hmd/mh]
Penulis:
Halgi Mashalfi Degel
Muhammad Syamsul Huda
Penyunting:
Athaya Nadjla
Azzariaputrie
0 Comments:
Post a Comment