Sumber: Pinterest
A Term: Quod Licet Jovi Non Licet Bovi
Pernah
dengar istilah berbahasa Latin yang berbunyi, “Quod licet jovi non licet
bovi.”?
Secara
harfiah, istilah tersebut berarti, "Apa yang diizinkan untuk Jupiter tidak
diizinkan untuk seekor banteng.” Esensinya adalah apa yang diperbolehkan atau
dibenarkan untuk satu orang atau kelompok, tidak berarti dibenarkan untuk semua
orang. Ungkapan tersebut dirasa pantas untuk mendefinisikan arti double
standard yang sering kita dengar saat ini. Dari sini sudah terlihat tidak
adil, bukan?
Pada
hakikatnya setiap manusia dilahirkan dengan hak asasi yang sama dan setara. Namun, perilaku manusia itulah yang membuat
batasan dan peraturan tentang apa yang dianggap tinggi dan rendah tanpa sebab,
yang dapat dinilai secara rasional. Batasan ini pun dibuat oleh mereka yang
merasa dirinya lebih tinggi dibandingkan yang lain, tidak memanusiakan manusia.
Ini adalah penerapan dari mereka yang memilih untuk memberi asupan kepada “ego”
mereka dan merasa lebih baik dari manusia-manusia lainnya. Pada akhirnya, hal
ini pun dieksekusi dengan cara mendiskriminasi dan merendahkan mereka yang
tidak sesuai dengan ketentuan, menunjukan ketidakadilan yang didasari oleh
keyakinan yang tidak jelas. Double
standard pun juga begitu, seperti pemikiran “tentu dia harus bisa memasak,
dia kan perempuan.” yang mencerminkan perempuan seakan diwajibkan untuk bisa
memasak karena dianggap akan menjadi ibu rumah tangga. Padahal, memasak adalah
kemampuan dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia, baik itu perempuan ataupun
laki-laki.
The
Nascency of Double Standard: Social Construction
Dapat
disimpulkan, faktor pendorong utama dari keberadaan mindset double standard ini adalah konstruksi sosial dari
masyarakat yang dibuat oleh sekelompok individu dengan menciptakan realitas
yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Individu menjadi penentu
dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kemauannya. Sekelompok manusia
dilihat menjadi pencipta realitas sosial. Dengan diterapkan mindset seperti ini, maka akan ada pihak
yang dirugikan. Dalam dunia pekerjaan, perbedaan penyikapan dalam pekerja
perempuan dan laki-laki pun terlihat jelas. Laki-laki akan dianggap lebih
terpercaya dan kompeten dikarenakan citra laki-laki yang kuat dalam menjadi
pemimpin membuat kesempatan yang dimiliki laki-laki lebih besar. Perempuan
dianggap tidak terpercaya untuk menjadi pemimpin karena dianggap sebagai
makhluk yang lemah dan memiliki tanggung jawab lebih dalam berumah tangga,
sehingga dianggap kurang kompeten. Pengupahan perempuan dan laki-laki juga
cenderung tidak sama, dilebihkan pada laki-laki padahal melakukan pekerjaan
yang sama. Contoh lain adalah, jika kalian seorang perempuan dan familiar
dengan kosakata bahasa Jawa yang berbunyi dari “dapur, sumur, kasur”, mungkin
tandanya itulah salah satu konstruksi sosial yang dibangun oleh orang-orang
terdahulu mengenai peran perempuan. Perlu digarisbawahi juga di sini,
ketidaksetaraan gender merupakan faktor yang memicu konsep berpikir double
standard.
The
Culture of Patriarchy: Attached to the Society
Speaking of double standard, dirasa masih sering berkaitan dengan adanya budaya
partriaki yang masih menjamur di Indonesia, contohnya bisa dilihat dari
ilustrasi ini:
Sumber: Diply.com
Dilansir
dari Wikipedia, patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menerapkan laki-laki
sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi pada sistem sosial tersebut.
Dominasi tersebut diterapkan kepada berbagai hal seperti partisipasi politik,
pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, dan lain-lain.
Budaya
patriarki jelas menjadi faktor pendorong terjadinya double standard, karena budaya tersebut memberikan keistimewaan
tanpa alasan yang rasional kepada gender
laki-laki, yang pada kenyataannya tidak terdapat perbedaan signifikan yang
dikelompokan berdasarkan gender,
selain perbedaan fisik. Namun sayang sekali terkadang secara tanpa sadar
perempuan juga dapat menjadi pelaku budaya patriarki tersebut, seperti
perempuan yang memandang perempuan lain yang bekerja tidak sesuai dengan kodratnya,
harusnya perempuan menjadi ibu rumah tangga saja.
Budaya
patriarki menjadi budaya yang masih dipertahankan di Indonesia karena pemikiran
generasi tua yang ditanamkan kepada generasi muda. Seperti orang tua yang
memberi wejangan kepada anaknya tentang bagaimana seorang perempuan seharusnya
hanya “hidup” di ranah domestik rumah tangga. Pola pikir ini akan menimbulkan
pemikiran individu-individu untuk menempatkan diri kepada peran yang
disesuaikan dengan gender yang dibangun dengan berbagai faktor seperti budaya
patriarki dan konstruksi sosial di Indonesia.
The
Lack of Humanity
Perilaku
double standard dianggap sebagai
perilaku negatif yang harus dihindari. Namun, sangat disayangkan perilaku double standard masih sering digunakan
masyarakat dalam menyuarakan pendapat mereka, baik saat berargumen, berdebat,
ataupun berkompetisi. Tidak hanya menyuarakan pendapat, perilaku ini juga
digunakan dalam forum-forum formal maupun informal, seperti dakwah dan seminar.
Dengan melakukan double standard
dalam suatu forum, hal ini dapat memberikan pengaruh kepada masyarakat secara
luas dan cepat, sehingga mindset individu
tersebut akan berubah dan memperlakukan double
standard seakan hal itu tidak bersifat negatif. Namun, hal tersebut
dikembalikan kepada setiap individunya masing-masing, terpengaruh atau tidak,
melakukan atau tidak.
Di
Indonesia sendiri, pemikiran double standard masih sering ditemukan.
Mirisnya, pemikiran itu masih saja digunakan untuk mengadili seseorang yang
mungkin saja berbeda suku, agama, dan ras. Bagi kami, double standard adalah
isu yang patut dirisaukan di negeri ini. Pemikiran double standard dapat membuat orang berperilaku tidak adil, dalam
keadaan sadar ataupun tidak. Jika pemikiran ini tertanam pada setiap individu,
maka masyarakat tersebut akan mengalami kemunduran (regress) dari keberhasilan para perempuan yang memperjuangkan haknya
(feminis) dan pengaplikasian kesetaraan gender. Namun, double standard tidak hanya berfokus kepada permasalahan gender
saja, meskipun mayoritas diaplikasikan kepada perbedaan gender.
Current
Era: When Social Media Rule the Society
Saat
ini, era di mana media sosial menjadi inti dari segala kegiatan, semakin jelas
terlihat bahwa double standard
merupakan masalah yang serius. Contohnya, seperti kasus Pangeran Abdul Mateen
dari Brunei Darussalam yang mencuak beberapa waktu ke belakang ini.
Kesempurnaanya menjadi trigger bagi para netizen Indonesia (khususnya
perempuan) untuk berlomba-lomba memujinya namun malah menjengkelkan. Hal ini
terus berlanjut sampai-sampai akun perempuan yang diduga kekasihnya menjadi private
karena resah oleh “teror” netizen Indonesia. Berbanding terbalik dengan
cerita Reemar asal Filipina, yang populer di TikTok bagi kalangan netizen laki-laki
Indonesia karena kecantikannya. Merasa tidak terima tersaingi kecantikannya,
netizen perempuan Indonesia berbondong-bondong melakukan report terhadap akunnya, juga ditambahi hujatan di comment
section-nya. Sampai akhirnya, akun Reemar pun hilang.
Sumber: Twitter
Setelah
melihat fenomena-fenomena seperti yang telah dijabarkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa double standard adalah bentuk ketidakadilan. Penting untuk
dipahami bahwa sebagai Generasi Z yang akan menjadi future leading
generation harus berbenah diri bagaimana cara konsep berpikir ini dapat
secara perlahan hilang dari kehidupan kita. Terdengar sulit, itu pasti. Namun,
tidak ada salahnya kita mencoba dari diri kita sendiri, seperti yang dikatakan
oleh Andra Farah, Communite 2018, “Lebih hati-hati lagi dalam mengeluarkan
kata-kata sih. Memperluas pengetahuan dan perspektif dalam ngeliat satu hal dan
jangan berpaku sama public opinion.
Bahkan, kalo perlu butuh banget sebenernya untuk memvalidasi suatu informasi
atau stereotype yang kita punya
tentang seseorang baiknya dihapus deh kalau nggak berdasarkan fakta yang betul.”
(lul/sas)
Penulis:
Callula
Davina
Sastri
Khalissa Amanda
Penyunting: Namratul
Ulya Fathulimamah Murdani
0 Comments:
Post a Comment