Home Tentang Kami Berita Feature Komtribusi Komspiratif E-Bulletin Advo Info Instagram Our Videos
image1 image2 image3

SELAMAT DATANG DI CHANNEL11.COMM|LAMAN RESMI HIMANIKA UNIVERSITAS BRAWIJAYA|KABINET KOLABORASI

Kekerasan pada Jurnalis


Sumber: tirto.id

Serangkaian aksi yang dilakukan mahasiswa diberbagai kota di Indonesia tidak hanya mendatangkan duka bagi mahasiswa, namun juga pada jurnalisme di Indonesia. Kekerasan yang dialami jurnalis Naras
i.tv menjadi sebuah gambaran bagaimana aparatur negara dan undang-undang menjamin kebebasan pers secara semu.
Kronologi Kejadian
Jurnalis yang melakukan peliputan kekerasan yang dilakukan aparat mendapat berbagai macam tindakan represif. Hal itu dialami oleh Harfin Naqsyanbandi, jurnalis Narasi.tv, ketika sedang  merekam pengeroyokan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap seorang massa aksi. Harfin juga diminta untuk memformat ulang telepon selulernya, namun Harfin menolak dan hanya menghapus dua video yang memuat adegan pengeroyokan.
Seorang jurnalis Narasi.tv lainnya juga mengalami kekerasan yakni, Vany Fitria, mencoba mengambil gambar di daerah Resto Pulau Dua, Jakarta Pusat. Vany yang mencoba mengambil gambar langsung dihampiri dan diperingati oleh seorang brimob. Tak lama setelah itu, Vany kembali dihampiri oleh beberapa anggota brimob yang langsung membanting dan merampas telepon selulernya. Padahal Vany telah mencoba menunjukkan kartu identitas persnya dan juga menghapus footage yang ia dapat, namun hal itu tidak direspon oleh brimob yang menghampirinya.
Pandangan Akademisi
Menurut Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, Arif Budi Prasetya, tindakan yang dilakukan aparat adalah bentuk kesewenang-wenangan karena kegiatan jurnalistik itu dilindungi oleh hukum dan ada undang-undang yang mengaturnya. Dia juga berharap para aparat untuk tetap berpikir jernih di tengah kekacauan walau dia juga tidak menampikkan upaya represif yang dilakukan aparat jika itu sesuai prosedur tetap. “Okelah misalkan kepada peserta aksi demo, itu pun kalau mereka sudah anarkis, namun yang jadi permasalahan adalah ketika ada pers yang menjadi korban, ujarnya.
Communite 2017 yang juga merupakan anggota LPM Perspektif, Muhammad Luqman Fadillah, mengatakan hal yang naif sekali ketika aparat melakukan kekerasan pada pers. Padahal, sudah ada prosedur yang mengatur cara kerja jurnalis. “Lebih spesifiknya di dalam Pasal 18 Ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda sebanyak Rp500 juta,ujarnya.
Tanggapan Pihak Kepolisian
Dilansir dari Detik News, menanggapi hal itu pihak kepolisian yang disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Dedi Prasetyo, mengatakan jurnalis harus cermat dalam memilih posisi yang aman. “Teman media yang meliput harus cermat, di mana tempat yang aman. Aman dari massa dan aparat. Kejadian selama ini terjadi saya lihat rekan media di depan gabung massa,ujarnya.
Untuk kedepannya dia juga sudah menyampaikan kepada Dewan Pers dan Pimpinan Redaksi agar jurnalis dilengkapi oleh rompi ketika meliput kerusuhan atau diprediksi akan terjadi kerusuhan.
Arif Budi Prasetya menilai tindakan yang dilakukan jurnalis di lapangan sudah sesuai prosedur, ketika terjadi kekacauan seharusnya sudah cukup dengan pengucapan dan menunjukkan identitas pers. Tindakan represif yang dilakukan aparat juga seharusnya berhenti ketika seorang jurnalis memperkenalkan identitasnya. “Se-chaos apapun seharusnya ketika terjadi pemukulan dan pihak wartawan mengatakan bahwa dia dari pers, seharusnya pemukulan dihentikan dulu, lalu minta tanda pengenal, namun ketika sudah ditunjukkan tetap terjadi pemukulan, berarti memang ada pelanggaran disana.”

Arif mengatakan kartu identitas yang kecil juga bukan sebuah alasan atau argumen untuk mengatakan tindakan yang dilakukan aparat merupakan ketidaksengajaan. Kurang masuk akal karena tindakan yang dilakukan adalah pemukulan dan masih ada kemungkinan komunikasi disana.

Penulis:
Nada Salsabila
Theodorus Admadireja
Lenia Ajeng Titiasa

Penyunting:
Adrian David Leonardo

Share this:

CONVERSATION

0 Comments:

Post a Comment