Home Tentang Kami Berita Feature Komtribusi Komspiratif E-Bulletin Advo Info Instagram Our Videos
image1 image2 image3

SELAMAT DATANG DI CHANNEL11.COMM|LAMAN RESMI HIMANIKA UNIVERSITAS BRAWIJAYA|KABINET KOLABORASI

Panic Buying: Kepanikan Tanpa Alasan


Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Agus Suparmanto, sempat mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan panic buying. Bagaimana tidak? Setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya warga negara Indonesia yang positif COVID-19,  masyarakat langsung dilanda kepanikan. Disusul dengan imbauan dari pemerintah untuk Work From Home (WFH), masyarakat langsung memborong hand sanitizer, masker, berbagai alat kebersihan, hingga bahan pokok.

Fenomena panic buying tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di sejumlah negara. Berdasarkan laporan The Sun, Minggu (22/03), orang-orang di Inggris sudah mengantre di luar toko mulai jam 6 pagi dan mengosongkan rak-rak yang ada dalam kurun waktu satu jam. Padahal sudah ada imbauan untuk tetap tenang. Begitu pun di Australia, orang-orang memborong tisu toilet, sabun cuci tangan, hingga makanan kaleng dalam jumlah banyak.


Fenomena panic buying melanda berbagai negara
Sumber foto : The Sun

Istilah panic buying menurut Cambridge Dictionary adalah situasi dimana orang tiba-tiba membeli banyak makanan, bahan  bakar, dan lain-lain karena mereka khawatir akan sesuatu yang buruk mungkin terjadi. Perilaku panic buying biasanya muncul ketika terjadi sebuah krisis atau bencana dan menyebabkan terjadinya kelangkaan atau kenaikan harga yang tinggi.

Berdasarkan pernyataan Andrew Yap dari Sekolah Bisnis INSEAD kepada DW, alasan orang-orang melakukan  panic buying adalah karena COVID-19 merupakan sesuatu yang tidak terlihat. Ketika kita melawan sesuatu yang tidak terlihat yang terjadi adalah kita kehilangan kemampuan dalam memegang kendali. Saat itulah kita akan melakukan apapun untuk dapat memegang kembali lagi, termasuk membeli barang-barang tersebut. Dengan kata lain, ketika kita cemas atau takut terhadap virus tersebut, kita akan mulai membeli barang-barang yang berpotensi untuk mencegah diri kita untuk terkena virus tersebut.

Sebenarnya, panic buying merupakan hal yang wajar terjadi karena dapat dikatakan sebagai respon manusia untuk bertahan hidup. Hal ini sejalan dengan pernyataan Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), bahwa fenomena panic buying merupakan respon psikologis yang biasanya terjadi karena informasi tidak sempurna atau menyeluruh yang diterima oleh masyarakat. Selain itu masyarakat juga kaget dengan adanya berita masuknya COVID-19 ke Indonesia. Akibatnya, timbul kekhawatiran di masyarakat dalam bentuk tindakan belanja secara masif sebagai upaya penyelamatan diri.

Dalam memperoleh kendali tersebut kembali, kita memperlukan informasi untuk memahami situasi yang terjadi. Namun terlalu lama menggali informasi dan mencarinya di sosial media bisa menjadi salah satu pemicu panic buying. Mengapa? Because social media is an echo chamber. Orang-orang melihat berbagai foto dan video yang menunjukkan orang lain sedang membeli barang-barang yang mereka percaya dapat membantu mereka melalui pandemi ini. Media juga menyebarkan berita mengenai panic buying terus menerus yang kemudian mendorong orang untuk antisipasi dan memperkuat prasangka mengenai adanya kelangkaan. Hal ini dapat memperburuk perilaku panic buying masyarakat.

Sesuatu yang berlebihan tidak pernah baik, begitupun perilaku panic buying. Terjadi kenaikan harga yang diakibatkan oleh kelangkaan beberapa barang. Sejalan dengan hukum pemintaan dalam ekonomi yang berbunyi : “Semakin turun tingkat harga, maka semakin banyak jumlah barang yang tersedia, dan sebaliknya semakin naik tingkat harga semakin sedikit jumlah barang yang bersedia”. Di tengah pandemi ini masker merupakan salah satu barang yang mengalami kelangkaan, sampai-sampai dimanfaatkan oleh sejumlah oknum tidak bertanggung jawab yang menimbunnya dan kemudian dijual dengan harga selangit.

Padahal masker merupakan barang yang sangat diperlukan di kondisi seperti ini, terutama bagi tenaga medis seperti dokter dan perawat. Mereka adalah garda terdepan dan yang paling rentan terpapar COVID-19. Menurut pernyataan Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Harif Fadhillah, adanya keterbatasan persediaan masker saat ini mengharuskan tenaga medis untuk menyiasatinya dengan satu masker, satu shift. Padahal idealnya satu masker digunakan untuk menangani satu pasien dan kemudian diganti saat akan menangani pasien lain, seperti dilansir dari CNN Indonesia. Selain masker, alat pelindung diri (APD) lainnya yang mengalami kelangkaan adalah sarung tangan dan baju pelindung. Jika diganti dengan barang lain, dikhawatirkan akan membahayakan keselamatan para tenaga medis karena tidak memenuhi standar keselamatan yang berlaku.




Sejumlah rumah sakit di Indonesia kekurangan APD
Sumber foto : IDN Times


Perilaku panic buying ini tidak hanya merugikan tenaga medis, tetapi juga masyarakat yang berpenghasilan rendah. Bukan berarti mereka tidak peduli dengan kesehatan mereka atau seakan merasa kebal dengan COVID-19 ini. Mereka tidak sempat berpikir untuk memborong atau bahkan menimbun makanan dan barang lainnya, mereka sibuk memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Perasaan takut dan panik adalah hal yang wajar dialami manusia, namun kita harus bisa mengontrolnya sebelum kita dikendalikan oleh perasaan tersebut. Ada baiknya kita mulai menggunakan akal sehat dan menumbuhkan rasa empati di tengah kondisi ini. Selain itu perlu bagi kita untuk meningkatkan perilaku hidup bersih. (yo/lul/saf)

Penulis:
Calulla Davina
Theo Admadiredja
Pradya Saffa Azzahra

Penyunting:
Namratul Ulya Fathulimamah Murdani


Share this:

CONVERSATION

0 Comments:

Post a Comment