Oleh Raka Iskandar
Beberapa hari yang lalu saya menyaksikan video klip di Youtube sebuah
single baru dari vlogger Karin Novilda atau Awkarin yang tengah
menjadi sorotan publik sosial media akhir-akhir ini. Sempat melejit karena
kehidupan dan asmara kontroversialnya, ia seolah ingin menunjukkan “pembalasan yang
berkelas” atas serbuan kritik melalui “BAD”, sebuah karya kolaborasi dengan rapper
Young Lex. That’s pretty well, Awkarin, perhatian kami untukmu
sekarang.
Rasanya tak etis jika saya ikut menghujat Awkarin, terlepas dari
banyaknya nada sumbang seputar karya pembalasan Awkarin tersebut, saya lebih
suka menafsirkan lirik yang banyak mengungkapkan kekesalan Awkarin akan para haters.
Makna yang paling kentara saya tangkap adalah penampilannya selama ini adalah simbol ketidakmunafikan. Singkatnya, don’t
judge by it’s cover. Right, Awkarin ?
Jika berbicara mengenai korelasi antara penampilan, prestasi dan attitude,
banyak sekali perdebatan. Perang statement seperti “boleh nakal asal
pintar dan berprestasi”, “penampilan modis tapi otak kosong”, “yang rapi belum
tentu baik” dan lain-lain. Sulit rasanya menakar hal-hal tersebut saling berkolerasi karena sejauh ini juga belum ada
penelitian yang mengungkap hal tersebut. Namun masih saja banyak oknum-oknum
yang mengaitkan ketiganya.
Perlu digarisbawahi disini adalah,
bagaimana seseorang menempatkan dirinya dalam ruang publik tertentu. Kita berada di
Indonesia, negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara.
Seolah sudah digariskan, kita mewarisi nilai-nilai bangsa Timur yang
menghormati sikap, kelakuan, budi pekerti dan penampilan yang luhur. Namun di
sisi lain, kita tinggal dalam sebuah sistem yang menghormati kebebasan yang
bertanggung jawab. Kita bebas berekspresi, berkarya dan berpendapat asal berada
di koridor yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat.
Naasnya yang terjadi saat ini, justru bergesernya pemahaman akan
kebebasan itu sendiri. Kebebasan sekarang lebih dimaknai sebagai kreativitas
tanpa batas yang member influence pada orang banyak. Tak jarang,
nilai-nilai sosial dikorbankan. Pada akhirnya, definisi dari kebebasan
bertanggungjawab beralih menjadi kebebasan karepe dewe, prestasi adalah
bentuk pertanggungjawabannya. Kritik orang akan pelanggaran rambu-rambu sosial,
hantam !
Dan pada akhirnya, itulah kenyataan saat ini. Kita tidak bisa
menilai begitu saja penampilan seseorang, kebebasan berkarya seseorang dan attitude
seseorang dengan versi benar-salah yang menjadi standar kita. Kita berawal dari
bangsa yang luhur, marilah kembali pada keluhuran kita sebagai Indonesia. Saya
hanya berharap akan lahir generasi-generasi kreatif seperti Awkarin yang
berlandaskan koridor identitas bangsa ini. Sebagaimana salah satu dosen pernah
mengatakan pada saya “anda adalah humas bagi diri anda sendiri”.
0 Comments:
Post a Comment