MALANG, Channel11.COMM – Keamanan tentunya
merupakan kebutuhan bagi setiap insan. Sebagai institusi pendidikan yang
merupakan sarana umum, kampus sudah seharusnya menjadi tempat yang aman dan
menjamin rasa aman itu bagi setiap mahasiswanya. Bentuk penjaminan ini dapat
berupa regulasi serta kebijakan yang dibuat oleh pihak yang berwenang. Namun,
dalam pelaksanaannya, masih banyak hal yang tidak selaras dengan ketentuan yang
ada. Pelanggaran yang dilakukan baik
dari pihak internal maupun eksternal tak dapat terhindarkan, begitupun yang
terjadi di Universitas Brawijaya, tepatnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP).
Tamu
Berbaju Biru
Sebagai sebuah
institusi pendidikan, tentu saja tamu akan lalu lalang di area FISIP UB dengan
tujuan yang berbeda. Normalnya, akan ada mahasiswa, dosen, dan beberapa karyawan yang akan
memenuhi tempat menimba ilmu tersebut. Namun tak dapat dipungkiri pengunjung
tak diundang akan turut meramaikan wilayah FISIP, seperti pedagang makanan dan
sosok misterius pria yang seringkali menggunakan polo shirt biru terang.
Pria dengan polo shirt biru terang
itu seringkali didapati sedang duduk santai, bahkan tertidur di area FISIP. Kehadirannya
cukup menjadi pertanyaan besar bagi warga FISIP, bagaimana seorang asing bisa
bebas keluar masuk wilayah pendidikan?
Pria berperawakan
besar tersebut mengaku bernama Ronald dan merupakan lulusan Teknik Elektro UB
tahun 1993. Pria asal Surabaya itu mengaku alasannya memilih untuk pindah ke
Malang adalah karena beliau menjadi korban operasi senyap di Surabaya, dengan
begitu ia menjadikan UB sebagai sarana menetap sementara. Selama operasi senyap
tersebut, beliau berasumsi bahwa ia tidak lagi dapat menjalani kehidupan
normalnya seperti bekerja. Semua bermula dari kecurigaannya terhadap seorang
petinggi salah satu gereja di Surabaya. Ia menemukan adanya penyalahgunaan
kekuasaan demi keuntungan pribadi. Ronald berusaha untuk melaporkan hal ini ke
pihak berwajib. Namun, sebelum laporan dilayangkan, petinggi gereja terlebih
dahulu mengetahui hal tersebut, sehingga Ronald menjadi target operasi senyap.
Kehadirannya dianggap mengancam posisi serta eksistensi gereja tersebut.
Ditambah lagi, keluarga tidak menerima dirinya, karena diduga telah bekerjasama
dengan pihak gereja.
Ronald lantas
menggantungkan hidupnya dengan berpindah dari tempat asalnya. Ia memilih kota
Malang sebagai tempat persinggahannya dan menetap hingga saat ini. Ia
menghabiskan lebih banyak waktunya di FISIP UB. Menurut pantauan
Channel11.COMM, pria berumur 43 tahun itu kerap muncul dalam acara-acara yang
diselenggarakan oleh mahasiswa FISIP UB, salah satunya saat acara Persembahan
Communite 2018 yang bernama Meksiko. Saat berlangsungnya acara tersebut, ia
terlihat turut meramaikan acara tersebut. Namun, dalam kehadirannya memberikan
rasa ketidaknyamanan bagi beberapa kalangan yang hadir pada acara tersebut.
“Sebenernya aku pribadi ga keganggu dengan kehadirannya sehari-hari di FISIP, aku
mulai keganggu pas acara Meksiko. Rumornya, dia ngambilin makanan panitia.”
Ucap Ghea, selaku Mahasiswa FISIP UB.
Menurut pernyataan pak
Ronald, beliau sudah seringkali ditegur, bahkan sempat dibawa ke pihak yang
berwenang yaitu ke unit tim keamanan UB yang kerap kita kenal dengan sebutan
Mako. Ia juga mengaku sempat ditawari untuk diantar pulang ke Surabaya, namun
menurutnya hingga saat ini belum ada tindak lanjut yang jelas. Menurut Humas
FISIP UB, pihaknya telah berusaha untuk mengembalikan Ronald ke tempat asalnya
dengan bantuan pihak keamanan FISIP, Mako, hingga Dinas Sosial Kota Malang.
Namun, tanpa sebab yang diketahui, pria ini kembali muncul di lingkungan FISIP
UB.
Tidak hanya sampai disitu, upaya
yang dilakukan pihak FISIP sudah mencapai ranah personal. Pendekatan pribadi
seperti upaya membantu menyelesaikan permasalahannya telah dilakukan. Namun,
hasilnya nihil. “Kita sudah sempat memanggil pengacara untuk dilanjutkan ke
ranah hukum, tetapi beliau tidak menganggapnya dengan serius.” Ujar Joni
Prabowo, selaku karyawan bagian perlengkapan FISIP UB.
Berdagang
di FISIP
Tidak hanya pengunjung
tanpa tujuan, orang-orang yang bermaksud untuk mengais rezeki di FISIP UB, juga
menjadi salah satu permasalahan. Himbauan secara tertulis telah tersebar di
berbagai penjuru FISIP UB, atau bahkan wilayah Universitas Brawijaya. Namun,
hanya sebatas kertas, himbauan inipun tidak diindahkan, ditambah lagi kurangnya
ketegasan dari pihak keamanan kampus. Seiring berjalannya waktu, penjual di
wilayah kampus menjadi hal yang lumrah bagi warga. Tidak menampik fakta bahwa
kehadiran pedagang ini cukup membantu mahasiswa ataupun warga kampus lainnya
untuk mendapatkan jajanan yang bervariasi. Tak jarang kehadiran mereka ditunggu
oleh bayak orang. Interaksi yang mereka bangun juga mampu membuat kesan
tersendiri. “Untuk pedagang, tidak begitu mengganggu mahasiswa,
justru membuat mahasiswa yang bosan akan makanan kantin jadi merasa senang
karena jajanan yang mereka temukan lebih bervariasi.” Terang Duitarama, selaku
staf Humas FISIP UB. Sependapat dengan Duitarama, Muslim, koordinator keamanan
FISIP UB, menuturkan bahwa kehadiran pedagang ini tidak membahayakan dan mereka
cenderung mematuhi instruksi yang diberikan terkait regulasi berjualan di
FISIP.
Kurangnya pengawasan
menjadi salah satu kendala terbesar yang dihadapi. Jalur keluar masuk kampus
yang terletak di berbagai titik tidak didukung dengan jumlah sumber daya
manusia, sehingga sering ‘kecolongan’.
Diperlukan sinergi antarelemen keamanan mulai dari pihak fakultas hingga
universitas untuk menanggulangi keberadaan pedagang asing tanpa izin ini.
Pilihan lain mengoptimalkan sarana prasarana pengawas seperti kamera pengintai
(CCTV) di berbagai wilayah.
Sering Kehilangan
Arus pengunjung yang
sulit dikendalikan menimbulkan kecurigaan baru. Semakin lama, masyarakat FISIP
semakin merasa tidak nyaman. Kehilangan sering kali terjadi. Kehilangan benda
pribadi seperti dompet, benda elektronik, hingga kendaraan bermotor tak ayal
membuat keamanan wilayah FISIP dipertanyakan.
Grace Nathania Putri
Hutomo, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2017 merupakan seorang korban percobaan
pencurian. Grace menuturkan kendaraan bermotor miliknya pernah dicoba untuk
dibawa lari oleh orang yang tidak dikenal. “Waktu itu lagi di FISIP, sekitar
jam 8-an mau cabut (pergi, red) buat rapat. Terus pas aku masukin kunci motorku
kok aneh rasanya, kayak nggak bisa klik, nggak bisa diputar. Tapi bisa buka jok
motor. Aku panggil teman dan katanya itu dibobol. Ya udah kita lapor ke
satpam,” jelasnya secara gamblang. Kejadian tersebut terjadi pada 28 September
2018. Perempuan ini tidak menyangka kejadian ini terjadi terlebih lagi
menurutnya kondisi motor miliknya kurang layak.
Menanggapi kasus
kehilangan motor tersebut, Hendra selaku salah satu juru parkir FISIP yang
bertanggung jawab atas kehilangan harus menanggung konsekuensi. Ia serta juru
parkir lainnya diharuskan menanggung biaya kehilangan motor sebesar 20% dari
harga kendaraan yang hilang. Biaya ini ditarik dari pendapatannya per bulan.
Lebih lanjut, pria ini mengaku harus tetap bertahan hidup dengan pendapatannya
yang pas-pasan. Ditambah potongan, membuatnya semakin harus bisa mengatur
keuangannya dengan baik agar mampu bertahan hidup. Permasalahan utama yang
dihadapi adalah sumber daya manusia yang tidak seimbang dengan jumlah kendaraan
yang harus diawasi. Apalagi ketika salah satu di antara mereka tidak bertugas
karena sakit, satu orang lainnya harus mengawasi jumlah kendaraan yang semakin
bertambah. “Jumlah kita terbatas. Kecuali dulu. Dulu kita kan delapan orang.
Satu shift empat orang. Lah ini kan
cuma dua orang, hilang separuh,” keluhnya. Terlebih lagi, Hendra menjelaskan
perbedaan pandangannya terkait tugas juru parkir. Baginya, tugas utama mereka
adalah untuk menata motor agar rapi dan cukup dengan wilayah yang tersedia,
sedangkan urusan pengecekan STNK sudah seharusnya menjadi ranah petugas
keamanan. Perbedaan ini yang masih dipertanyakan olehnya dan juru parkir
lainnya.
Tidak hanya mahasiswa,
dosen pun ikut menjadi korban kehilangan. Dewanto Putra, salah satu dosen Ilmu
Komunikasi harus merelakan laptop miliknya
diambil orang tidak bertanggung jawab. Ia menjelaskan bahwa kehilangan yang
dialami terjadi saat ia pergi menunaikan ibadah. Saat itu, ia meletakan tas
berisi laptop miliknya di belakang pilar dalam ruang dosen. Tempat tersebut
aman baginya. Setelah sepuluh menit, ia
merasa ada yang ganjil dari tas laptopnya. Lalu ia memeriksanya, dan laptopnya
telah raib. Kejadian tersebut segera dilaporkan kepada pihak keamanan fisip
untuk ditindaklanjuti. “Langsung melihat CCTV, ternyata ada orang yang
mencurigakan disitu, sebelum kejadian saya itu, dia berkeliling didepan kantor
komunikasi, lalu 10 menit kemudian, tepat saat saya naik, dia keluar, dan tas
dia saat keluar terlihat agak lebih berat daripada tas dia saat masuk.” Jelas
Dewanto.
Pemasangan kamera
pengintai (CCTV) di dalam ruang dosen
tidak disetujui karena alasan privasi. Dosen menganggap perlu adanya ruang
pribadi bagi mereka. Namun, dampak kehilangan barang di dalam ruang dosen sulit diselesaikan tanpa
adanya bukti langsung dari kamera pengintai. Pihak keamanan FISIP sendiri
mengatakan terkait dengan kasus tersebut, kegiatan represif telah dilakukan
seperti menyebar hasil rekaman yang tertangkap di cctv agar meningkatkan
kepekaan sosial terhadap isu tersebut. Pelaku diduga juga sudah jarang
berkeliaran di area kampus, namun tetap saja kesadaran akan kepemilikan barang
pribadi lebih ditingkatkan lagi sehingga kasus kehilangan akan dapat diminimalisir,
karena pihak keamanan pun tak dapat selalu mengawasi setiap saat dikarenakan
kurangnya personil, yaitu hanya 2 orang.
Keamanan FISIP semakin
dipertanyakan. Apakah semua regulasi dan kebijakan hanya sekaedar di atas
kertas putih atau sudah sewajibnya dijalankan? Tugas menjaga keamanan memang
telah dikhusukan kepada petugas tertentu. Namun, sudah seharusnya seluruh
elemen masyarakat FISIP ikut serta dalam menjamin keamanan. Lingkungan aman
membuat nyaman dan tidak ada lagi rasa kecemasan bagi siapapun yang berkunjung
dan beraktivitas di FISIP. [zir/vik/nad/hud/hmd]
Penyunting
Audrey
Tiara Faddila
Athaya Nadjla Azzarieputri
0 Comments:
Post a Comment