Namaku
Tara, seorang mahasiswa semester akhir yang sedang sibuk dengan tugas akhirnya.
Seorang mahasiswa prantauan di kota orang. Hidup sendiri tanpa ada sanak
ataupun saudara. Aku hanya mempunyai beberapa sahabat yang setia menemaniku
sejak pertama kali aku mengenal kota ini.
Menjadi
mahasiswa tingkat akhir bukanlah perkara yang mudah, mungkin terlihat santai
karena tidak disibukkan dengan jadwal kuliah atau tugas-tugas dari dosen, namun
cukup dipusingkan dengan tugas akhir yang tak kunjung selesai. Hampir setiap
hari aku tetap ke pergi kampus, entah bertemu dosen pembimbing atau sekedar ke
perpustakaan mencari beberapa informasi.
Entah
sudah berapa banyak kertas yang kubuang akibat coretan untuk keperluan revisi.
Entah sudah berapa banyak kopi yang ku minum agar kuat menahan kantuk di malam
hari untuk menyelesaikan tugas ini. Entah sudah berapa banyak kata ‘capek’ yang
kukeluarkan ketika aku ingin menyerah. Namun, saat kata itu terucap hanya wajah
orang tuaku lah yang ku ingat, karena ku tahu mereka tidak pernah mengeluh
untuk terus memperjuangkanku.
Pagi
itu aku kembali menemui Pak Rizki. Seperti biasa aku berkonsultasi tentang
tugas akhirku. Sampai pada akhirnya Pak Rizki berkata, “Tara, saya rasa
penelitian kamu sudah cukup. Saya mau kamu maju untuk ujian skripsi.” Mendengar
perkataannya, dadaku terasa sesak. Seakan tak percaya jika sudah saatnya aku
mempertanggungjawabkan tugas akhirku. Aku harus siap. Harus.
Langit
terlihat biru cerah, dihiasi sinar matahari yang muncul malu-malu. Tanpa ragu
ku langkahkan kakiku ke luar rumah. Memakai rok hitam dan kemeja putih bersih
dihiasi dengan jas almamater kebanggaan. Ku gendong tas ransel biru berisi
laptop dan beberapa buku, aku pun berjalan menuju kampus oren. Ya ... FISIP.
Hari
ini adalah hari dimana penentuan dari perjuanganku selama empat tahun. Tentu
saja hari ini merupakan hari dimana skripsiku
diuji. Sambil duduk menunggu dosen penguji datang, aku melamun. Memori otakku
berputar kembali ke masa lalu, saat empat tahun yang lalu. Saat untuk pertama
kalinya aku menginjakkan kakiku ke kota ini, saat pertama kalinya aku
menggunakan jas almamater ini dengan bangga, saat aku tahu kalau aku resmi
menjadi seorang mahasiswa baru. Teringat olehku semua kajadian yang dulu ku
alami. Berkenalan dengan teman baru, kuliah perdana, masa orientasi, dan entah
berapa banyak momen yang sudah ku lewati hingga sekarang.
“Tara,
sudah siap?” Ucap dosen pembimbingku mengagetkan lamunanku. “Sudah pak!” Jawabku
dengan mantap. Sempat terpikirkan ‘kemana sahabat-sahabatku?’ Mereka tak datang
ketika aku membutuhkan dukungan. Ah ... mungkin mereka sedang sibuk. Bukan
hanya aku yang sedang berambisi menyelesaikan tanggung jawab ini.
Di
dalam ruangan aku ditemani oleh Pak Rizki, dosen pembimbingku yang setia dan
tidak pernah bosan menuntunku untuk menyelesaikan tugas akhir ini, dan dua
orang dosen penguji. Dengan membaca bismillah
aku memulai presentasi tentang penelitianku. Tanpa ragu ku jawab semua
pertanyaan yang dilayangkan dari mereka. Sedikit grogi, namun kepedeanku
mengalahkan semuanya. Aku yakin penelitianku pasti berhasil.
Kulihat
ketiga dosen yang duduk di hadapanku berdiskusi kecil. Mereka menyuruhku keluar
meninggalkan ruangan sebentar. Aku menunggu dengan gelisah, jantungku berdegup
tak karuan menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
Setelah
lima belas menit menunggu di luar, aku pun dipanggil kembali ke dalam ruangan
sidang. Aku berdiri di depan ketiga dosenku. Berusaha tersenyum manis
menghilangkan kegelisahanku.
“Baik
Tara, kami sepakat jika kamu lulus ujian ini,” Ucap salah satu dosen pengujiku.
Aku mencerna kembali kata-kata yang dia ucapkan. ‘Kami sepakat jika kamu lulus
ujian ini’? Tak salah dengar kah aku? Aku lulus?
Air
mata haru menetes dari pelupuk mataku. Sambil tersenyum aku menghapus air
mataku dan menyalami kedua dosen penguji dan dosen pembimbingku. Aku
benar-benar tak percaya jika aku lulus. Kurapihkan laptop dan perlengkapan lain
ke dalam tas ranselku. Aku pun beranjak keluar ruangan ujian.
“Tara!
Selamat ya udah jadi sarjana ilmu komunikasi!” Sahabat-sahabatku muncul entah
dari mana datangnya dan langsung memelukku. Memberiku beberapa buket bunga,
mahkota bahkan selempangan yang bertuliskan ‘S. I.Kom’. Aku speechless, tak bisa berkata-kata. Hanya
mampu menangis. Menangis karena terlalu senang.
Setelah
puas berfoto-foto dan berbincang mengenai ujian tadi, aku pulang kembali ke
kost-an. Langkahku kembali terasa ringan mengingat salah satu tanggung jawabku
selama empat tahun terakhir sudah selesai. Sambil menyusuri jalan, aku kembali
mengingat bagaimana aku mengenal tempat ini. Tempat yang sudah tak asing buatku
layaknya rumah sendiri. Tak terasa sebentar lagi aku akan meninggalkan tempat
ini, kota ini, dan semua kehidupan di sini. Aku akan kembali ke kampung
halamanku. Berpisah dengan sahabat-sahabatku di sini dan memulai kehidupan baru
di sana. Berpisah, namun tidak benar-benar berpisah. Tak terbayang bagaimana
nanti aku mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Aku tahu tentu berat
rasanya, namun itu harus.
Kita
semua kelak akan berpisah, termasuk dengan orang-orang yang kita sayangi
sekalipun. Namun itu yang membuat kita semakin matang untuk menjadi orang yang
bijaksana. Dimana ada awal, pasti akan ada akhir. Tergantung bagaimana kita
menghadapinya.
Berpisah
itu sama sulitnya dengan memulai. Harus beradaptasi, harus menerima dan harus
mengerti makna dari perpisahan itu. Aku percaya jika perpisahan selalu hanya
sebagian kecil dari rencana Tuhan. Karena kelak akan ada rencana yang jauh
lebih baik dan tak terduga setelahnya. (zrn)
0 Comments:
Post a Comment