Terkota(k)-kota(k), berkubu-kubu, atau apapun
istilahnya. Itulah yang saya rasakan selama hampir satu semester menjajaki
dunia perkuliahan di Universitas Brawijaya, terutama di fakultas saya sendiri.
Saya merasa ada sekat tak kasat mata yang terjalin di antara teman-teman saya.
Saya merasakan adanya eksklusivitas dan pembedaan yang didasari oleh perbedaan
asal daerah. Apakah kalian juga merasakan hal yang sama?
***
Dunia kampus memang beragam, mahasiswanya pun
beragam. Teman sepermainan, tempat kongkow,
bahkan obrolannya pun beragam. Meskipun begitu, mahasiswa yang tampaknya dekat
dengan pluralitas serta keberagaman ternyata cenderung memilih lingkup sebuah
kelompok yang sama. Dalam hal ini misalnya sama pikirian, sama obrolan, dan
umumnya juga sama kota (asal domisili). Kondisi ini berawal dari hal yang
sebenarnya sederhana, umumnya karena kesamaan dialek bahasa.
Ketidaksempurnaan dalam beradaptasi juga menjadi faktor yang dominan dalam fenomena ini.
Bagi mereka yang terlalu lama berdiam di suatu tempat (dalam hal ini kota
kelahirannya), dari kecil hingga dewasa, mungkin akan sangat susah dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan hingga budaya baru. Salah satunya dalam lingkup dunia
kampus yang kebanyakan
mahasiswanya berasal dari berbagai wilayah.
Contoh kasus yang paling jelas terlihat sebenarnya
selalu sama tiap tahunnya, yaitu antara pihak ibukota (I) dengan pihak penduduk
asli (A). Kebingungan saya memunculkan satu pertanyaan: bukankah ibukota juga
terletak di Pulau Jawa? Lalu apa yang membuat suatu batasan dari pergaulan ini?
Dialek
bahasa.
Pihak A menganggap dialek pihak I terlalu kasar,
sebaliknya pihak I menganggap dialek pihak A terlalu aneh, begitu seterusnya
dari tahun ke tahun. Kecenderungan pihak I dalam bergaul pada teman sesama
daerahnya dengan menggunakan sapaan ‘gue-elo’,
dinilai kurang cocok dengan kultur pihak A yang biasa menggunakan sapaan ‘aku-kamu’ dalam kesehariannya.
Pertanyaannya: masalahnya apakah satu pihak tidak
ingin beradaptasi dengan kultur baru, atau mungkin pihak lain malah terlalu
memaksakan kultur yang ada terhadap para pedatang?
Sebenarnya ada beberapa orang yang kerap berusaha
mencairkan suasana ketika sedang mengobrol. Awalnya tak ada masalah, tetapi
kemudian beberapa kata yang bernada ‘candaan’ dari satu pihak malah membuat
pihak lainnya merasa tersinggung. Tak ada maksud buruk dari pihak yang
melontarkan ‘candaan’ tersebut, tapi di lain pihak kata-kata seperti itu bernada
merendahkan. Perbedaan ‘guyonan’ seperti ini juga yang menjadi hal besar dalam
pembentukan sekat antar pihak ini.
Dalam sudut pandang lain, hal ini sebenarnya
wajar-wajar saja ketika beberapa orang lebih ‘nyambung’ ngobrol dengan mereka
yang berasal dari daerah yang sama. Tetapi saat perbedaan ini berubah menjadi
penyulut api kesalahapahaman antar pihak, hal ini lah yang sangat disayangkan.
Toleransi yang diajarkan oleh bu guru hingga pak
ustadz dulu seakan terlupakan. Kini orang lebih suka membanding-bandingkan satu
hal dengan lainnya tanpa mau berfikir bijak sama sekali. Statement hingga stereotype
baru yang merugikan bisa menciptakan potensi konflik. Sebaiknya setiap pihak
dapat menerima sesuatu yang baru dan bertoleransi dalam keberagaman, terutama
dalam menyikapi perbedaan budaya. Lestarikan sikap toleransi. Dengan begitu,
maka keterbukaan, kebersamaan, hingga sikap saling menyayangi antarsesama
manusia tentu akan tumbuh. Perbedaan nantinya tidak akan menjadikan sekat,
tetapi menjadi pengetahuan tersendiri akan hal baru yang tak pernah kita
pikirkan sebelumnya.
Bukankah indah saat sesama manusia dapat berkumpul
bersama? Atau apakah kita hanya akan peduli ketika ras manusia hanya tinggal
beberapa ribu saja? Jawabannya kembali ke diri masing-masing. Jika saja keberagaman hal dapat
dinikmati, tentu takkan ada sumbu penyulut api. (zki)
0 Comments:
Post a Comment