Home Tentang Kami Berita Feature Komtribusi Komspiratif E-Bulletin Advo Info Instagram Our Videos
image1 image2 image3

SELAMAT DATANG DI CHANNEL11.COMM|LAMAN RESMI HIMANIKA UNIVERSITAS BRAWIJAYA|KABINET KOLABORASI

The Negativity of Double Standard and How to Deal with It


Sumber: Pinterest




A Term: Quod Licet Jovi Non Licet Bovi

Pernah dengar istilah berbahasa Latin yang berbunyi, “Quod licet jovi non licet bovi.”?

Secara harfiah, istilah tersebut berarti, "Apa yang diizinkan untuk Jupiter tidak diizinkan untuk seekor banteng.” Esensinya adalah apa yang diperbolehkan atau dibenarkan untuk satu orang atau kelompok, tidak berarti dibenarkan untuk semua orang. Ungkapan tersebut dirasa pantas untuk mendefinisikan arti double standard yang sering kita dengar saat ini. Dari sini sudah terlihat tidak adil, bukan?

Pada hakikatnya setiap manusia dilahirkan dengan hak asasi yang sama dan setara. Namun, perilaku manusia itulah yang membuat batasan dan peraturan tentang apa yang dianggap tinggi dan rendah tanpa sebab, yang dapat dinilai secara rasional. Batasan ini pun dibuat oleh mereka yang merasa dirinya lebih tinggi dibandingkan yang lain, tidak memanusiakan manusia. Ini adalah penerapan dari mereka yang memilih untuk memberi asupan kepada “ego” mereka dan merasa lebih baik dari manusia-manusia lainnya. Pada akhirnya, hal ini pun dieksekusi dengan cara mendiskriminasi dan merendahkan mereka yang tidak sesuai dengan ketentuan, menunjukan ketidakadilan yang didasari oleh keyakinan yang tidak jelas. Double standard pun juga begitu, seperti pemikiran “tentu dia harus bisa memasak, dia kan perempuan.” yang mencerminkan perempuan seakan diwajibkan untuk bisa memasak karena dianggap akan menjadi ibu rumah tangga. Padahal, memasak adalah kemampuan dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia, baik itu perempuan ataupun laki-laki.

The Nascency of Double Standard: Social Construction

Dapat disimpulkan, faktor pendorong utama dari keberadaan mindset double standard ini adalah konstruksi sosial dari masyarakat yang dibuat oleh sekelompok individu dengan menciptakan realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kemauannya. Sekelompok manusia dilihat menjadi pencipta realitas sosial. Dengan diterapkan mindset seperti ini, maka akan ada pihak yang dirugikan. Dalam dunia pekerjaan, perbedaan penyikapan dalam pekerja perempuan dan laki-laki pun terlihat jelas. Laki-laki akan dianggap lebih terpercaya dan kompeten dikarenakan citra laki-laki yang kuat dalam menjadi pemimpin membuat kesempatan yang dimiliki laki-laki lebih besar. Perempuan dianggap tidak terpercaya untuk menjadi pemimpin karena dianggap sebagai makhluk yang lemah dan memiliki tanggung jawab lebih dalam berumah tangga, sehingga dianggap kurang kompeten. Pengupahan perempuan dan laki-laki juga cenderung tidak sama, dilebihkan pada laki-laki padahal melakukan pekerjaan yang sama. Contoh lain adalah, jika kalian seorang perempuan dan familiar dengan kosakata bahasa Jawa yang berbunyi dari “dapur, sumur, kasur”, mungkin tandanya itulah salah satu konstruksi sosial yang dibangun oleh orang-orang terdahulu mengenai peran perempuan. Perlu digarisbawahi juga di sini, ketidaksetaraan gender merupakan faktor yang memicu konsep berpikir double standard.

The Culture of Patriarchy: Attached to the Society 

Speaking of double standard, dirasa masih sering berkaitan dengan adanya budaya partriaki yang masih menjamur di Indonesia, contohnya bisa dilihat dari ilustrasi ini:

Sumber: Diply.com

Dilansir dari Wikipedia, patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menerapkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi pada sistem sosial tersebut. Dominasi tersebut diterapkan kepada berbagai hal seperti partisipasi politik, pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, dan lain-lain.

Budaya patriarki jelas menjadi faktor pendorong terjadinya double standard, karena budaya tersebut memberikan keistimewaan tanpa alasan yang rasional kepada gender laki-laki, yang pada kenyataannya tidak terdapat perbedaan signifikan yang dikelompokan berdasarkan gender, selain perbedaan fisik. Namun sayang sekali terkadang secara tanpa sadar perempuan juga dapat menjadi pelaku budaya patriarki tersebut, seperti perempuan yang memandang perempuan lain yang bekerja tidak sesuai dengan kodratnya, harusnya perempuan menjadi ibu rumah tangga saja.

Budaya patriarki menjadi budaya yang masih dipertahankan di Indonesia karena pemikiran generasi tua yang ditanamkan kepada generasi muda. Seperti orang tua yang memberi wejangan kepada anaknya tentang bagaimana seorang perempuan seharusnya hanya “hidup” di ranah domestik rumah tangga. Pola pikir ini akan menimbulkan pemikiran individu-individu untuk menempatkan diri kepada peran yang disesuaikan dengan gender yang dibangun dengan berbagai faktor seperti budaya patriarki dan konstruksi sosial di Indonesia.

The Lack of Humanity

Perilaku double standard dianggap sebagai perilaku negatif yang harus dihindari. Namun, sangat disayangkan perilaku double standard masih sering digunakan masyarakat dalam menyuarakan pendapat mereka, baik saat berargumen, berdebat, ataupun berkompetisi. Tidak hanya menyuarakan pendapat, perilaku ini juga digunakan dalam forum-forum formal maupun informal, seperti dakwah dan seminar. Dengan melakukan double standard dalam suatu forum, hal ini dapat memberikan pengaruh kepada masyarakat secara luas dan cepat, sehingga mindset individu tersebut akan berubah dan memperlakukan double standard seakan hal itu tidak bersifat negatif. Namun, hal tersebut dikembalikan kepada setiap individunya masing-masing, terpengaruh atau tidak, melakukan atau tidak.

Di Indonesia sendiri, pemikiran double standard masih sering ditemukan. Mirisnya, pemikiran itu masih saja digunakan untuk mengadili seseorang yang mungkin saja berbeda suku, agama, dan ras. Bagi kami, double standard adalah isu yang patut dirisaukan di negeri ini. Pemikiran double standard dapat membuat orang berperilaku tidak adil, dalam keadaan sadar ataupun tidak. Jika pemikiran ini tertanam pada setiap individu, maka masyarakat tersebut akan mengalami kemunduran (regress) dari keberhasilan para perempuan yang memperjuangkan haknya (feminis) dan pengaplikasian kesetaraan gender. Namun, double standard tidak hanya berfokus kepada permasalahan gender saja, meskipun mayoritas diaplikasikan kepada perbedaan gender.

Current Era: When Social Media Rule the Society

Saat ini, era di mana media sosial menjadi inti dari segala kegiatan, semakin jelas terlihat bahwa double standard merupakan masalah yang serius. Contohnya, seperti kasus Pangeran Abdul Mateen dari Brunei Darussalam yang mencuak beberapa waktu ke belakang ini. Kesempurnaanya menjadi trigger bagi para netizen Indonesia (khususnya perempuan) untuk berlomba-lomba memujinya namun malah menjengkelkan. Hal ini terus berlanjut sampai-sampai akun perempuan yang diduga kekasihnya menjadi private karena resah oleh “teror” netizen Indonesia. Berbanding terbalik dengan cerita Reemar asal Filipina, yang populer di TikTok bagi kalangan netizen laki-laki Indonesia karena kecantikannya. Merasa tidak terima tersaingi kecantikannya, netizen perempuan Indonesia berbondong-bondong melakukan report  terhadap akunnya, juga ditambahi hujatan di comment section-nya. Sampai akhirnya, akun Reemar pun hilang.

Sumber: Twitter

Setelah melihat fenomena-fenomena seperti yang telah dijabarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa double standard adalah bentuk ketidakadilan. Penting untuk dipahami bahwa sebagai Generasi Z yang akan menjadi future leading generation harus berbenah diri bagaimana cara konsep berpikir ini dapat secara perlahan hilang dari kehidupan kita. Terdengar sulit, itu pasti. Namun, tidak ada salahnya kita mencoba dari diri kita sendiri, seperti yang dikatakan oleh Andra Farah, Communite 2018, “Lebih hati-hati lagi dalam mengeluarkan kata-kata sih. Memperluas pengetahuan dan perspektif dalam ngeliat satu hal dan jangan berpaku sama public opinion. Bahkan, kalo perlu butuh banget sebenernya untuk memvalidasi suatu informasi atau stereotype yang kita punya tentang seseorang baiknya dihapus deh kalau nggak berdasarkan fakta yang betul.” (lul/sas)

Penulis:
Callula Davina
Sastri Khalissa Amanda

Penyunting: Namratul Ulya Fathulimamah Murdani



Share this:

CONVERSATION

0 Comments:

Post a Comment